Dokumen tertua ditemukan di Bali, dalam hal ini di Pejeng,
ialah prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta pada tablet-tablet tanah liat yang
semula tersimpan di dalam stupika-stupika (stupa-stupa kecil) dari tanah liat.
Prasasti-prasasti itu berupa mantra-mantra agama Buddha yang terkenal dengan
nama ye-te-mantra. Prasasti-prasasti sejenis ini ditemukan juga di Pura
Pegulingan Basangambu, Tampaksiring dan situs Kalibukuk Buleleng. Bunyi teksnya
sebagai berikut:
“Ye dharmā hetu-prabhawā Hetun tesān tathāgato hyawadat
Tesāñca yo nirodha Ewamwādi mahāśramanah” (Goris,1948:3)
Artinya:“Keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah
diterangkan oleh Tathagata (Buddha), Tuan mahatapa itu telah menerangkan juga
apa yang harus diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”5
Mantra sejenis itu tertulis pula di atas pintu Candi Kalasan (di Jawa Tengah)
yang berasal dari abad VIII atau tahun 700 Śaka (778). Berdasarkan kesamaan
tipe aksara mantra-mantra di kedua tempat itu, maka mantra-mantra agama Buddha
di Pejeng diduga berasal dari abad VIII pula (Goris, 1949 : 3-4 ; cf.
Budiastra, 1980/1981 : 36-38).
Di desa Pejeng ditemukan pula fragmen-fragmen prasasti berbahasa
Sansekerta dengan huruf Bali Kuno. Keadaannya sudah sangat tua. Di antara
bagian-bagian yang masih terbaca antara lain manuśasana… (pada fragmen d),
…mantramārgga… (pada fragmen g), …śiwas (…) ddh … (pada fragmen h), yang secara
lengkap kiranya berbunyi … śiwasiddhanta …, dan …sakalabhuwanakrt … (pada
fragmen k), yakni nama lain untuk Wiśwakarman. Hal-hal itu memberi petunjuk
bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan, dalam hal ini
agama Hindu sekte Śiwa ; bahkan agama itu rupanya telah bersifat mantris atau
tanris (Stutterheim, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah melakukan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterheiom, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang
berangka tahun. Stutterheim, setelah melakukan studi komparatif antara huruf
fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama
di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang
berasal dari masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX
(Stutterheim, 1929 : 59). Jika dugaan itu benar, maka berarti, di daerah Pejeng
(Gianyar) pada waktu itu, agama Buddha dan agama Hindu sekte Siwa telah
mempunyai pemeluk masing-masing, yang hidup saling menghormati dengan penuh
toleransi
Bali Tahun 882-955
Prasasti pertama pada intinya berisi tentang pengembalian
fungsi kesucian ulan (semacam bangunan suci keagamaan) di wilayah perkebunan di
bukit Citamani (sekarang Kintamani). Tampaknya, ulan itu sempat digunakan
sebagai tempat lalu-lalang bagi orang-orang yang pulang pergi ke kebun atau
sawah ladangnya. Kebijakan yang ditempuh penguasa ialah menyuruh Senapati
danda, bhiksu Siwakangsita, Siwanirmala, dan Siwaparjna membangun pertapaan
yang dilengkapi pasanggrahan (satra) di bagian lain bukit Cintamani.
Selanjutnya, orang-orang yang lalu-lalang di daerah itu agar tidak lagi
menggunakan jalan setapak yang melewati kompleks ulan melainkan melalui jalan di
kompleks pertapaan. Batas-batas wilayah pertapaan ditetapkan. Prasasti ini juga
memuat ketetapan pembebasan para bhiksu dari tugas dan pajak-pajak tertentu,
serta aturan pembagian harta warisan. Berdasarkan prasasti itu, dapat diketahui
bahwa di bawah pucuk pemerintahan paling sedikit ada empat jabatan tinggi
kerajaan, yaitu sarbwa, dinganga, nayakan, makarun, dan manuratang ajna.
Jabatan-jabatan ini tetap bertahan selama periode Singhamandawa, yakni ketika
prasasti-prasasti dikeluarkan di panglapuan di Singhamandawa (882-942). Setelah
itu, jabatan-jabatan tinggi kerajaan rupanya semakin meningkat jumlahnya.
Prasasti Bebetin AI berkenaan dengan desa (banwa) bharu,
atau secara lebih lengkap kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang
berbenteng. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa pada suatu ketika desa itu
diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati terbunuh atau terluka
dan banyak pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga. Setelah keadaan aman,
merekapun kembali ke desa bharu. Demi kelengkapan desa, khususnya dalam bidang
spiritual, raja menyuruh pejabat nayakan pradhana yaitu kumpi ugra dan bhiksu
Widya Ruwana untuk memimpin pembangunan kuil Hyang Api, dengan batas-batas
wilayah yang telah ditentukan. Prasasti ini memuat pula aturan-aturan pembagian
harta warisan dan ketetapan mengenai tugas atau kewajiban serta hak-hak
penduduk yang berdiam di sana.
Desa bharu rupanya terletak di pesisir pantai utara Pulau
Bali,6 dan merupakan salah satu pelabuhan yang ada pada waktu itu. Dugaan
terakhir ini didasarkan atas adanya ketentuan yang mengatur saudagar-saudagar
dari luar yang berdagang di sana dan perahu-perahu yang mengalami kerusakan
termuat dalam prasasti itu. Bagian teks prasasti Bebetin AI mengenai hal itu,
sebagaimana terbaca pada lembaran Iib.3-4 berunyi sebagai berikut.
”… anada tua banyaga turun ditu, paniken (baca : paneken) di
hyangapi, parunggahna, ana mati ya tua banyaga, perduan drbyana prakara, ana
cakcak lancangna kajadyan papagerrangen kuta…”(Goris,1954a:55).
Artinya:”…Jika ada saudagar berlabuh (turun) di sana,
barang-barang persembahannya supaya dihaturkan kepada kuil Hyang Api, (jika)
ada mati (di antara) saudagar itu, segala harta miliknya agar dibagi dua,
(jika) perahunya rusak, supaya dijadikan pagar untuk memperkuat be
Isi kedua prasasti berikutnya, yaitu prasasti Trunyan AI dan
Trunyan B, khususnya pada lembaran Ib-IIa.4, pada dasarnya sama. Keduanya
mengenai izin yang diberikan kepada penduduk desa Turunan untuk mendirikan
bangunan suci bagi Bhatara Da Tonta. Selanjutnya, penduduk wajib membayar iuran
dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu untuk keperluan bangunan suci
itu. Sebagai imbangannya, mereka dibebaskan dari pajak-pajak serta
kewajiban-kewajian tertentu yang lazim ditunaikan bagi raja.
Pada bagian lain prasasti Trunyan AI dinyatakan bahwa jika
ada utusan raja melakukan persembahyangan di sana pada bulan Asuji, utusan itu
wajib diberikan makanan dan minuman. Prasasti itu menyinggung pula upacara di
kuil Guha Mangurug Jalalingga serta kewajiban-kewajiban penduduk desa Hasar,
Halang Guras, Pungsu, dan Panumbahan dalam kaitan dengan upacara-upacara di
kuil Sang Hyang di Turunan (Bhatara Da Tonta) dan Guha Mangurug Jalalingga.
Bagian lebih lanjut, prasasti Trunyan B antara lain memuat
perihal iuran yang wajib dibayar oleh penduduk desa Air Rawang di sebelah timur
teluk Danau Batur untuk keperluan upacara Sang Hyang di Turunan. Di sana
disebutkan pula bahwa setiap bulan Bhadrawada (Agustus-September), Bhatara Da
Tonta harus disucikan dengan air Danau Batur, kemudian dibedaki kuning, serta
dihiasi dengan cincin bepermata dan anting-anting. Petugas yang berwenang
melaksanakan hal-hal itu adalah Sahayan Padang dari desa Air Rawang. Pada
bagian akhir prasasti Trunyan B terbaca kalimat kutukan yang ringkas (Goris,
1954a : 58-59).
Prasasti Pura Kehen A berkenaan dengan bangunan suci (dang
udu) Hyang Karimama yang berada di desa Simpat Bunut. Bangunan suci itu
tampaknya sempat kurang terurus. Dalam rangka memulihkan fungsinya, raja
menugasi bhiksu Siwarudra, Anantasuksma, dan Prabhawa serta penduduk desa
Simpat Bunut agar melakukan perbaikan serta perluasan (pamasamahyan) pertapaan
di Hyang Karimama itu. Batas-batasnya kemudian ditetapkan. Para bhiksu yang
berdiam di sana walaupun pada prinsipnya wajib tunduk pada aturan yang berlaku,
juga tetap mendapat hak istimewa (previlise), misalnya para bhiksu tidak boleh
diwajibkan ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh
dilibatkan dalam masalah-masalah jual beli, pemungutan pajak, dan pencelupan
benang. Dalam prasasti itu juga ditentukan bahwa pertapaan di Hyang Karimama
dibolehkan memiliki cabang di desa lain, asalkan tidak lebih dari 20 buah
(Goris, 1954a : 60-61).
Penguasa tertinggi pada periode Singhamandawa memberikan
perhatian sangat besar terhadap bidang spiritual keagamaan. Hal itu dapat
diketahui antara lain berdasarkan isi kelima prasasti yang telah dibicarakan
dan isi prasasti Gobleg, Pura Desa I yang berangka tahun 836 Saka. Dalam
prasasti ini disebutkan bahwa bangunan suci di Bukittunggal yang bernama
Indrapura, yang berada dalam wilayah desa Air Tabar, agar diperbaiki dan
diperluas sesuai dengan rencana. Raja menugasi sejumlah tokoh untuk memimpin
pelaksanaannya. Prasasti ini juga memuat aturan pembagian harta warisan dan
keringanan dari tugas-tugas tertentu yang didapat oleh penduduk.
Prasasti Angsri A keadaannya sangat aus. Dari bagian yang
terbaca dapat diketahui antara lain nama bangunan suci Hyang Api dan Hyang
Tanda. Kedua bangunan suci itu mendapat persembahan bagian harta warisan
keluarga yang putus keturunan (Goris, 1954a : 62).
Berdasarkan hasil pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang
berasal dari masa Bali Kuno selanjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja
atau ratu dan seorang rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di
Bali. Di antaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah
bersama-sama dengan tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surinya.
Urutan pemerintahan mereka secara kronologis dapat dilihat pada lampiran 1
karya tulis ini dan uraian ringkas mengenai masa pemerintahan masing-masing
pucuk pemerintahan itu disajikan sebagai berikut.
Nama raja Bali Kuno yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri Kesari Warmadewa. Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat diidentifikasikan demikian, adalah prasasti Blanjong (835 Saka),dan prasasti Penempahan 8, dan prasasti Malet Gede (835 Saka)9. Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Bagian nama raja yang terbaca pada isi A.4 prasasti Blanjong adalah … sri kesari … sedangkan pada sisi B.13 terbaca … sri kesariwarmma (dewa) (Goris, 1954a : 64-65). Bagian nama raja dalam prasasti Penempahan yang masih terbaca adalah … sri ke … dan pada prasasti Malet Gede berbunyi … sri kaesari … (Kartoatmodjo, 1977 : 150-151 ; cf. Damais, 1959 : 964).
Dalam jajaran raja-raja Bali Kuno, Sri Kesari Warmadewa merupakan raja pertama yang menggunakan unsur warmadewa sebagai bagian gelarnya. Berdasarkan kenyataan itu maka dapat dikatakan bahwa Sri Kesari merupakan cikal-bakal dinasti (vamsakara) Warmadewa di Bali. Raja-raja dari dinasti ini, sebagaimana akan diketahui, berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad, yakni sejak awal abad X sampai dengan awal abad XI.
Hal lain yang menarik perhatian ialah ketiga prasasti
tersebut pada hakikatnya menggambarkan kemenangan raja Sri Kesari terhadap
musuh-musuhnya. Sebagai akibat prasasti-prasasti itu telah aus, hanya dua di
antara musuh-musuh itu dapat diketahui, yakni di Gurun dan di Suwal (Goris,
1954a : 65). Perlu ditambahkan bahwa lokasi Gurun dan Suwal sampai dewasa ini
belum diketahui secara pasti. Di antara para ahli, ada yang berpendapat bahwa
Gurun mungkin sama dengan Lombok dewasa ini. Pendapat lain menyatakan bahwa
Gurun mungkin identik dengan Nusa Penida (Goris, 1954b : 243 ; cf.
Kartoatmodjo, 1977 : 152).
Raja Sri Kesari Warmadewa diganti oleh Sang Ratu Sri Ugrasena. Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur (Goris, 1948 : 5). Ada sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni prasasti-prasasti Banjar Kayang (837 Saka), prasasti Les, Pura Bale Agung (837 Saka), Babahan I (839 Saka), Sembiran AI(844 Saka), Pengotan AI (846 Saka), Batunya AI (855 Ska), Dausa, Pura Bukit Indrakila AI (857 Saka), Serai AI (858 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Saka), prasasti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg, Pura Batur A (Goris, 1954a : 8-11 ; 63-72).
Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah
kebijakan penting dilakukan oleh raja Ugrasena. Beberapa di antaranya
dikemukakan berikut ini. Keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada
desa Sadungan dan Julah, karena desa itu belum pulih benar dari kerusakan
akibat diserang perampok. Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan
dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga
berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah
perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara
jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh penduduk (Goris, 1954a :
63-68 ; 70-71).
Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama, Raja
Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk
memperluas pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya
masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte
(?) Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga
mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu
teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak
sepenuhnya dapat diketahui (Goris, 1954a : 68-72).
Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917),
sebagaimana tercatat dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan
(Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan)
dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek
(pitamaha), di Buwunan dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang yang mati
secara tidak wajar, jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan
batas-batas wilayah pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
Setelah mangkat, diduga Ugrasena dicandikan di Air Madatu
dan dikenal dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu
(cf. Goris, 1954b : 211). Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra
Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa
raja Tabanendra, bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejumlah tokoh
agar memugar atau memperluas pasanggarahan di Air Mih yang dibangun pada masa
pemerintahan raja dengan epitet tersebut di atas (Goris, 1954a : 76).
Jika epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena setelah
mangkat, maka tindakan raja dan permaisurinya tersebut di atas menunjukkan
betapa hormatnya mereka kepada Ugrasena. Lebih lanjut, hal itu dapat digunakan
sebagai dasar pendapat yang menyatakan bahwa walaupun Sang Ratu Sri Ugrasena
tidak secara eksplisit menggunakan bagian gelar warmadewa, baginda pun
tergolong anggota dinasti Warmadewa.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar