Bali Tahun 955-1343
Pada periode ini diketahui sejumlah raja yang pernah
memerintah Bali, tetapi belum ditemukan nama ibu kota yang menjadi pusat
pemerintahannya.
Raja pertama pada periode ini adalah Sang Ratu Sri Haji
Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan permaisurinya, yaitu
Sri Subhadrika Dharmadewi, tahun 877-889 Saka (955-967) Mereka menggantikan
raja Ugrasena.
Ada empat prasasti yang memuat pasangan gelar suami-istri
itu, yakni prasasti-prasasti Manik Liu AI (877 Saka), Manik Liu BI (877 Saka),
Manik Liu C (877 Saka), dan Kintamani A (899 Saka) 11. Keempat prassati itu
tidak lengkap.
Tiga yang pertama, selain ditemukan di tempat yang sama juga
berkenaan dengan masalah pokok yang sama, yaitu pemberian izin oleh raja kepada
Samgat Juru Mangjahit Kajang, dan anak bandut yang berdiam di desa Pakuwwan dan
Talun (Goris, 1954a : 74-75). Mereka dibebaskan dari tugas bergotong royong dan berbagai pajak, kecuali pajak rot.
Isi pokok prasasti Kintamani A, yang menurut
Goris berkaitan dengan prasasti Kintamani B, telah disinggung di depan, yakni
berkenaan dengan perintah Raja Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar
menangani pemnugaran pesanggarahan di Air Mih. Dalam Prasasti Kintamani B
disebutkan pula bahwa pasanggrahan di Dharmarupa merupakan cabang pasanggrahan
di Air Mih (Goris, 1954a : 77).
Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat
diketahui dari sebuah prasasti, yaitu prasasti Manukaya (882 Saka)
(Stutterheim, 1929 : 68-69 ; Goris 1954a : 75-76 ; Damais, 1955 : 224-225).
Dalam prasasti itu dimuat perintah raja untuk memugar Tirtha di (Air) Mpul (sekarang
Tirtha Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat
derasnya aliran air. Setelah pemugaran itu, diharapkan kedua telaga yang ada
menjadi kuat dan bertahan lama.
Hal yang menarik perhatian ialah ternyata prasasti Manukaya
terbit pada masa pemerintahan Tabanendra Warmadewa bersama permaisurinya.
Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan bukti-bukti yang akurat. Berkenaan
dengan hal itu, L.C. Damais menegaskan bahwa pembacaan angka tahun 882 Saka
sudah benar (Goris, 1965 : 180).
Untuk sementara, yang dapat dikemukakan di sini ialah
terbitnya “prasasti sisipan” itu tampaknya berlangsung dalam suasana damai,
dalam arti tidak dilatarbelakangi oleh sifat permusuhan, peristiwa kudeta, atau
semacamnya. Dugaan itu dikemukakan karena belum terdapat petunjuk adanya
perselisihan internal di antara anggota dinasti yang telah berkuasa.
Pada tahun 897 Saka muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri
Janasadhu Warmadewa. Gelar ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII (897 Saka)
(Brandes, 1889 : 46-48 ; Goris, 1954a : 77-79 ; Damais, 1955 : 226). Itulah
satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti tersebut kembali mengenai
desa Julah kuno. Menurut prasasti itu, penduduk Julah yang kembali dari
pengungsiannya diizinkan memperbaharui isi prasastinya. Selanjutnya, ketentuan
dalam prasasti itu harus dipatuhi dan jangan diubah-ubah lagi. Dalam prasasti
itu antara lain ditetapkan bahwa jika ada kuil, pekuburan, pancuran,
permandian, prasada, dan jalan raya di wilayah itu mengalami kerusakan, supaya
diperbaiki serta dibiayai secara bergilir oleh penduduk desa Julah, Indrapura,
Buwundalm, dan Hiliran. Jika pertapaan di Dharmakuta diserang oleh perampok,
supaya seluruh penduduk Julah keluar rumah lengkap dengan senjata untuk
menolong pertapaan itu (kapwa ta ya turun tangga saha sanjata, tulungen to
patapan di dharmakuta) (Goris, 1954a : 78-79).
Raja Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri
Wijaya Mahadewi Satu-satunya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah
prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Saka) (Goris, 1954a : 79-80 ; Damais, 1955 :
226-227).
Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air Tabar, yang
merupakan pamong kuil Indrapura di Bukittunggal di wilayah desa Air Tabar, untuk
memperbaharui prasastinya (mabharin pandaksayan na).
Ratu ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa.
Keadaan ini mengundang timbulnya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya
kata Sri Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. van Stein Callenfels (1924 : 30)
berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya di
Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan kekuasaan
Sriwijaya ke Bali. Pada mulanya, Goris menyetujui pendapat itu.
Pada tahun 1950, dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom
van Erlangga”, J.L. Moens menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur
(1950 : 138). Damais secara lebih tegas mengemukakan bahwa ratu itu adalah
putri Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya.12 Pendapatnya itu didasarkan
pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja yang disebutkan
dalam prasasti ratu itu, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim di
Bali. Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa (1952 : 85-86 ; 1955 : 227).
Ratu Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada tahun 911 Saka
(989). Tampuk pemerintahan di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri
Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayana Warmadewa.
Dalam prasasti Pucangan dikatakan bahwa
Gunapriyadharmapatni, yang semula bernama Mahendradatta, adalah putri Sri
Makutawangsawardhana, cucu perempuan pasangan Sri Isana Tunggawijaya dan Sri
Lokapala, atau cicit Pu Sindok. Mahendradatta kemudian nikah dengannya adalah
Udayana, seorang pangeran yang lahir dari keluarga raja (dinasti) yang masyhur.
Dari pasangan itu lahirlah Erlangga atau Airlangga (Kern, 1917 : 93).
Berdasarkan keterangan itu, dapat diketahui bahwa Mahendradatta adalah seorang
putri berasal dari Jawa Timur, keturunan dinasti Isana. Jika dikaitkan dengan
keterangan dalam prasasti-prasasti Bali tahun 911-923 Saka yang menyatakan
bahwa Sri Gunapriyadarmapatni memerintah bersama-sama dengan suaminya, yaitu
Sri Dharmadoyana Warmadewa, maka dapat diketahui bahwa tokoh terakhir inilah
yang dimaksud dengan Udayana dalam prasasti Pucangan. Lebih lanjut, yang
dimaksud dengan dinasti termasyhur dalam prasasti itu adalah dinasti Warmadewa.
Kendati demikian, masih ada sejumlah pendapat mengenai asal-usul Udayana.
Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri
Campa atau Kamboja. Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970,
menyebabkan sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan
melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah
dengan Mahendradatta (1984 : 554-556 ; 1961 : 96-97). Moens tidak setuju dengan
hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit
pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis
Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana
(Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua,
Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan
Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur
dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana II
dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan sebagai
pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Moens juga mengemukakan bahwa
Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa
Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II
(1950 : 124). Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua
tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali
pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan
Udayana yang memerintah di Bali (1948 : 7 ; 1957 : 19).
Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali.
Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan
menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu
disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana
Warmadewa. Lagi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah
berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak
tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya.
Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu
menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat
dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing
yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam
jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa. Lagi pula, penerimaan
tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra mahkota
yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang
mustahil.
Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula
keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang
dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat
yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra
Bali dari dinasti Warmadewa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom (1956 :
119) yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens.
Telah dikatakan bahwa praasti-prasasti pasangan
”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu
adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916
Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II (Goris, 1954a
: 80-88).
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu.
Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka),
kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat
lemah. Pasangan suami- istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah
kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada
penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru). Hal itu dapat
diketahui dari prasasti Serai AII.
Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada
intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana
kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa
induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang,
diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya). Segala kewajiban
supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran.
Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa
meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu
berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa
Bantiran disuruh kembali ke desanya. Hak dan kewajibannya diatur dan mereka
diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya.
Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana
sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A (Goris, 1954a
: 88-94 ; Damais, 1955 : 185). Rupanya Gunapriyadharmapatni mangkat tidak lama
sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang
desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur. Dalam prasasti itu disebutkan
bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana
dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan
bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi
pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut
bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon
pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa
Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang
Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil
temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang
paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi
lebih dari itu. Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja
menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti
mengenai proses persidangan itu berbunyi :
“…tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan
pingsan pingrwa, winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an
kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, …” (Goris,1954a:89).
Artinya:“… kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng
bersama-sama, tidak sekali dua kali, diperdebatkan dan dibahas, maka
tercapailah hasil persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang menjadi
permohonan penduduk desa itu, …” Selain prasasti-prasasti yang telah
disebutkan, masih ada lima buah prasasti singkat (short inscription) yang
terbit atau diduga terbit sebelum Udayana turun taktha, yaitu prasasti-prasasti
Besakih, Pura Batumadeg (nomor lama 908), Ujung Pura Dalem (nomor lama 357)
berangka tahun 932 Saka, Gunung Penulisan A (933 Saka), Gunung Penulisan B, dan
Sangsit B (nomor lama 437) berangka tahun 933 Saka (Goris, 1954a : 46, 94,
105-107 ; Damais, 1955 : 229).
Prasasti Besakih, Pura Batu Madeg sesunguhnya berangka tahun
1393 Saka tetapi di dalamnya disebutkan sebuah prasasti lebih tua yang memakai
candra sangkala nawasanga-apit-lawang (929 Saka). Prasasti bertahun 929 Saka
itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana.
Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh
Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calon Arang (Goris, 1965 : 23 ; cf.
Poerbatjaraka, 1926 : 115-145).
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu
Bradah? Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu
Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali.13 Kunjungan itu mungkin dalam
kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau
kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa
Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak
Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul
mengenai urusan yang sangat penting (Goris, 1957 : 20). Setelah mangkat,
Gunapriyadharmapatni dicandikan di Burwan, dan Udayana yang diduga mangkat
tidak lama setelah tahun 933 Saka dicandikan di Banu Wka.
Mereka diganti oleh Ratu Sri Ajnadewi yang mengeluarkan
prasasti Sembiran AIII pada tahun 938 Saka (Brandes, 1889 : 48-49 ; Damais,
1955 : 229-230). Sampai kini belum terdapat petunjuk jelas mengenai hubungan
ratu ini dengan pendahulunya, begitu pula hubungannya dengan tokoh lain. Dalam
mengupayakan penjelasannya, akan dilihat kembali bagian berbahasa Jawa Kuno
pada prasasti Pucangan. Dari bagian itu diketahui bahwa pada tahun 938 Saka
(1016) kerajaan yang diperintah Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur diserang oleh raja
Wurawari sehingga mengalami malapetaka mahahebat (pralaya). Serangan itu
bertepatan dengan saat diselenggarakan upacara pernikahan Airlangga dengan
putri Dharmawangsa Teguh. Dikatakan lebih lanjut bahwa Jawa pada waktu itu
bagaikan lautan api dan banyak orang terkemuka gugur dalam peristiwa tersebut.
Airlangga, yang berumur 16 tahun, dapat menyelamatkan diri dengan lari ke hutan
diiringi pengikutnya yang sangat setia, yaitu Narottama (Sumadio dkk., 1990 :
173).
Tahun pralaya itu ternyata bertepatan dengan munculnya Ratu
Sri Sang Ajnadewi sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Berdasarkan
kenyataan ini, dapat dikembangkan uraian hipotetik sebagai berikut. Mudah
dipahami bahwa ketika dilangsungkan upacara pernikahan Airlangga dengan putri
Dharmawangsa Teguh, Udayana sebagai seorang ayah, yakni ayah Airlangga, hadir
di keraton Jawa Timur. Bahkan mustahil baginda ikut gugur dalam peristiwa
pralaya yang telah disebutkan, dan hal itu sekaligus mengakibatkan taktha
kerajaan Bali lowong secara tiba-tiba. Putra mahkota Bali pada waktu itu, yaitu
Marakata, kemungkinan masih terlalu muda untuk dinobatkan sebagai raja.
Pendapat itu didasarkan atas pertimbangan bahwa jika Airlangga pada tahun 1016
baru berumur 16 tahun, maka Marakata sebagai adiknya, setua-tuanya baru berumur
15 tahun, bahkan kenyataannya boleh jadi lebih muda dari itu.
Untuk memecahkan masalah lowongnya takhta kerajaan Bali,
keluarga istana rupanya sepakat mengangkat seorang wali, yaitu Ratu Sri Sang
Ajnadewi. Perwalian itu berlangsung sampai tidak lama sebelum Marakata
mengeluarkan prasasti yang pertama pada tahun 944 Saka (1022). Apakah wali itu
berasal dari Jawa Timur ataukah keluarga istana Bali? Memang dapat dipahami,
jika wali itu berasal dari dan diangkat oleh keluarga istana Jawa Timur, namun
kemungkinan itu sangat kecil. Kemungkinan itu dikatakan demikian karena mudah
pula dipahami bahwa kondisi kerajaan di Jawa Timur pada waktu itu masih sangat
lemah, situasinya masih sangat kacau, bahkan mungkin masih dalam suasana
berkabung. Jika dugaan itu benar, maka kemungkinan lain yang dapat dikemukakan
ialah Sri Sang Ajnadewi adalah anggota dinasti yang sedang berkuasa di Bali.
Mungkin bibi Marakata atau tokoh lain yang memang pantas menduduki posisi
sebagai wali.
Prasasti Sembiran A III yang dikeluarkan oleh ratu itu
kembali mengenai desa Julah. Dikatakan bahwa desa ini diserang lagi oleh
penjahat. Banyak penduduk mati, ditawan musuh, atau mengungsi ke desa lain.
Penduduk semula sebanyak 300 kepala keluarga, tersisa hanya 50 kepala keluarga.
Oleh karena itu, sang ratu pun memberikan keringanan kepada mereka dalam hal
kerja gotong royong dan pembayaran beberapa jenis drwyahaji. Kewajiban mereka
dalam kaitan dengan bangunan sakral di Dharmakuta pun dikurangi pula (Goris,
1954a : 95). Dapat ditambahkan bahwa secara harfiah drwyahaji berarti “milik
raja”(Zoetmulder, 1982a : 416). Akan tetapi, menurut konteksnya istilah itu
bermakna pendapatan kerajaan yang berasal dari pajak, cukai, denda, iuran, dan
sebagainya, yang kemudian digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran
kerajaan.
Telah dikatakan bahwa Marakata, gelar lengkapnya Paduka Haji
Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa, mengeluarkan
prasastinya yang pertama yakni prasasti Batuan, pada tahun 944 Saka.
Prasasti-prasasti lain yang memuat gelar raja itu ialah prasasti Sawan A I =
Bila I (nomor lama 353) yang berangka tahun 945 Saka, Tengkulak A (945 Saka),
dan Bwahan B (947 Saka)14.
Prasasti pertama diberikan kepada penduduk desa Baturan
(sekarang Batuan di Kabupaten Gianyar). Wakil-wakil desa itu menghadap raja
serta menyampaikan bahwa semenjak masa pemerintahan raja almarhum yang
dicandikan di Er Wka (yang dimaksud adalah Udayana), penduduk desa Baturan
ditugasi memelihara kebun raja di Er Paku dan kuil di desa Baturan. Raja Marakata
memaklumi betapa beratnya tugas-tugas itu, maka sebagai imbalannya, penduduk
pun dibebaskan dari pajak-pajak tertentu dan diizinkan lepas dari desa
Sukhawati (sekarang Sukawati).
Isi pokok prasasti Sawan A I pada dasarnya sama dengan isi
pokok prasasti Batuan, yang permohonan penduduk mengenai pengurangan beban
drwyahaji dan tugas bergotong royong. Permohonan itu diajukan wakil-wakil desa
Bila karena merasa cukup berat memenuhi kewajiban-kewajiban semula sebagai
akibat warganya berkurang secara drastis, yakni dari semula 50 kepala keluarga
menjadi hanya 10 kepala keluarga. Permohonan itu disetujui oleh raja Marakata.
Prasasti Sawan A I juga memuat ketetapan tentang pembagian harta warisan,
perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pegawai kerajaan yang
berkunjung ke desa Bila, dan kewajiban penduduk bagi pegawai itu.
Prasasti Tengkulak A menyatakan bahwa pada tahun 945 Saka,
wakil-wakil desa Songan Tambahan menyampaikan kepada raja Marakata bahwa sejak
masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa, mereka ditugasi
menyelenggarakan atau memelihara katyagan (asrama pendeta) Amarawati di tepi
sungai Pakrisan. Sejak titah turun, penduduk desa itu belum pernah diberikan
prasasti yang memuat rincian kewajiban serta hak mereka. Supaya segala
sesuatunya menjadi jelas, sehingga mereka dapat meneruskan pengabdian kepada
raja dan ratu almarhum, begitu pula kepada raja yang tengah memerintah, maka
mereka memohon kepada Raja Marakata agar berkenaan menganugerahkan prasasti
kepada mereka. Raja pun memenuhi permohonan itu. Dalam prasasti itu ditegaskan
bahwa penduduk supaya tetap melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana sediakala
(magehakna sapurbwastitinya nguni) (Ginarsa, 1961 : 5).
Berdasarkan prasasti Buwahan B (947 Saka) dapat diketahui
bahwa penduduk desa Bwahan kekurangan lahan tempat menggembalakan ternak dan
mencari kayu api. Wakil-wakil desa itu memohon agar diizinkan membeli sebidang
hutan dekat desanya, yang semula digunakan sebagai tempat berburu oleh raja.
Dikatakan bahwa raja mengabulkan permohonan tersebut. Lebih lanjut ditegaskan,
agar Nayakan Buru (pejabat yang mengurusi masalah perburuan) tidak mengganggu
gugat kegiatan penduduk di wilayah yang telah dibeli itu.
Masih ada sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa
pemerintahan raja Marakata, yaitu prasasti-prasasti Kesian, Pura Sibi I (945
Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian Pura Sibi III (948 Saka),
Kesian, Pura Sibi IV dan Bangli, Pura Kehen B (nomor semula 356) tanpa angka
tahun.15 Oleh karena data historis dalam masing-masing prasasti itu relatif
kurang berarti bagi penggambaran aktivitas atau kebijakan raja Marakata maka
pembicaraan prasasti-prasasti itu tidak diperpanjang di sini.
Dalam gelar Marakata yang telah disebutkan di depan, tidak
terdapat unsur warmadewa tetapi ada unsur dharmawangsa yang mengingatkan kepada
tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Berdasarkan kenyataan itu, apakah
berarti Marakata tidak termasuk anggota dinasti Warmadewa? Keraguan itu menjadi
hilang dengan adanya keterangan dalam prasasti Tengkulak A. Dalam prasasti itu
dikatakan bahwa Marakata adalah putra raja Almarhum yang dicandikan di Air Wka
(yakni Sri Dharmodayana Warmadewa). Keterangan itu juga berarti bahwa Marakata
tergolong anggota dinasti Warmadewa. Bagian teks prasasti mengenai hal itu
berbunyi :
“… mangkai pwan menget ikanag karaman i songan tambahan
sapanambahan, an wka haji dewata sang lumah ring air wka sajalu stri, prasiddha
kumalilirig kulit kaki, siniwi ring desa banten molih tekang karaman
maprarthana ri bhatara, yata hetunya papulung rahi manambah i paduka haji,
umajaraken sakramanya nguni mwang pagehnyanugraha haji dewata, …
(Ib.5-IÏa.2)”(Ginarsa,1961:4).
Artinya:”… kini ingatlah para tetua desa Songan Tambahan
yang terikat dalam satu kesatuan pemujaan, bahwa putra raja almarhum yang
icandikan di Air Wka beserta permaisurinya, telah berhasil mewarisi (takhta
kerajaan) dari garis keturunan, laki-laki, dimuliakan di wilayah Banten (Bali).
Supaya mereka dapat melanjutkan pengabdian kepada betara (di Air Wka) maka
mereka bersama-sama menghadap paduka raja, mempermaklumkan segala sesuatu yang
mereka laksanakan pada masa-masa lalu, dalam upaya mengukuhkan anugrah (baca :
titah) raja yang telah almarhum,…”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut garis keturunan
dari pihak ayah, Marakata termasuk dinasti Warmadewa. Akan tetapi, kenyataannya
unsur warmadewa tidak digunakan dalam gelar raja itu. Sebaliknya dalam gelar
itu terdapat unsur dharmawangsa, yang sebagaimana telah dikatakan, mengingatkan
kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Keadaan demikian dapat dipahami,
jika diingat bahwa ibu suri Marakata, yakni Gunariyadharmapatni adalah putri
Jawa Timur. Bukan mustahil Gunariyadharmapatni bersaudara kandung dengan
Dharmawangsa Teguh, atau paling tidak berkerabat dekat. Unsur dharma yang
terdapat dalam nama masing-masing tokoh itu dapat digunakan sebagai faktor
penunjang pendapat di atas.
Dalam menanggapi gelar Marakata yang tanpa unsur warmadewa,
lebih jauh dapat dikemukakan bahwa hal itu tidak mesti dipandang sebagai bukti
bahwa Marakata mengingkari dirinya termasuk dinasti Warmadewa. Sebagai putra
Udayana, tentu baginda menyadari kedudukannya dalam dinasti itu. Penggunaan
unsur dharmawangsa dalam gelarnya, agaknya hanya masalah pilihan belaka.
Raja Marakata diganti oleh adiknya, yaitu Anak Wungsu yang
memerintah tahun 971-999 Saka (1049-1077). Gelarnya sebagai raja, begitu pula
nama kecil tokoh ini sesungguhnya tidak diketahui secara pasti, kecuali hendak
diyakini bahwa Anak Wungsu juga merupakan nama kecil tokoh itu. Secara harfiah
anak wungsu berarti ”anak bungsu”, jadi hanya menyatakan urutan kelahiran
belaka. Dalam hal ini, tokoh itu adalah anak bungsu suami-istri Udayana dan
Gunapriyadharmapatni. Pernyataan mengenai hal tersebut terbaca dalam sejumlah
prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu. Dalam prasasti Pandak Bandung (933
Saka) misalnya, terbaca bagian yang berbunyi ”… ”paduka haji, anak
wungsunirakalih bhatari lumah i burwan, bhatara lumah i banu wka, …”(Stein
Callenfels, 1926 : 14), yang artinya ”… paduka raja anak bungsu baginda berdua
(suami-istri), yaitu ratu yang dicandikan di Burwan dan raja yang dicandikan di
Banu Wka, …”
Dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti Pucangan yang
menyatakan bahwa Airlangga adalah putra suami-istri tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa suami-istri itu berputra tiga orang, yakni Airlangga, Marakata,
dan Anak Wungsu. Hal ini juga berarti bahwa Airlangga dan Anak Wungsu, seperti
halnya Marakata, termasuk dinasti Warmadewa pula.
Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama
di antara raja-raja pada zaman Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28
tahun. Ada 31 buah prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasikan
sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Sembilan belas
di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yang lainnya
tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap
atau karena tergolong prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta
prasasti yang dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa
raja itu memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil. Dugaan
itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang
pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan
pemerintahan.
Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah
raja yang penuh belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji)
dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang diperintah
atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira
atau nityasa kumingking … subhiksa nikang rat rinaksanira). Oleh karena Anak
Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai kebajikan
(sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai
penjelmaan dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam
urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau
terpeliharanya bangunan-bangunan suci keagamaan (nityasa kumingking
sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk., 1990 : 301-302).
Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin bersifat hiperbolis, namun
unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya, yakni bagian yang bersifat
realistis, patut mendapat perhatian yang wajar.
Telah dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa
pemerintahan Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu
per satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang yang
dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan. Untuk menghindari hal itu, di
bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu berdasarkan sambandha-nya
atau alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan.
Ada enam alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut:
1. Adanya
permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula yang
berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti). Permohonan
demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani,
Batwan, Pa (r) canigayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan
dan Landungan, warga desa yang bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di
Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-wakil penduduk desa Bila.17
2. Adanya
permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima). Permohonan
semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri
(purusakara) subak Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18
3. Adanya pejabat
memungut rwyahaji melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini
diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa
para pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu
paracaksu) melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang
dianugrahkan raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar masalah itu
diluruskan oleh Raja Anak Wungsu. 19
4. Adanya
permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau
dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan
ini dengan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26
5. Adanya
permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak
dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi
menyelenggarakan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma), tetapi belum
dianugrahi prasasti. Supaya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka memohon agar
Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan dalam sebuah prasasti.27
6. Adanya
permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk keperluan
upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan ini diajukan oleh
wakil-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi
keperluan-keperluan tersebut di atas.22
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan
tersebut di atas dikabulkan oleh Raja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan
pertimbangan serta pembahasan yang seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan
dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek
sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.
Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah
tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088).
Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu,
terbaca dalam prasasti Babahan II (nomor lama 501). Goris menduga Prasasti
Ababi A (nomor lama 447) dan Klandis (nomor lama 448) adalah juga dikeluarkan
oleh raja Walaprabhu (1954a : 26 ; 1965 : 33). Perlu diperhatikan bahwa
raja-raja Bali Kuno, raja inilah yang pertama menggunakan gelar maharaja
setelah ratu Sri Wijaya Mahadewi yang sudah dibicarakan di depan.
Aktivitas pemerintahan raja ini dapat dikemukakan antara
lain sebagai berikut.
Dalam prasasti Klandis dinyatakan bahwa raja Walaprabhu
mengizinkan desa Pakwan lepas dari desa Bangkala tetapi harus tetap menunaikan
pembayaran drwyahaji sebagaimana sediakala. Betapa keagungan wibawa raja itu
dapat diketahui dari ucapan-ucapan yang menggambarkan bahwa baginda bagaikan
perwujudan dharma (kebajikan) yang melindungi dunia (saksat niran dharmmatmajam
urti jagatpaloka), sebagai tempat rakyat berlindung (saranasraya ring praja),
dan laksana satu-satunya payung yang meneduhi seluruh wilayah Pulau Bali
(pinakekachatra ning balidwipamandala) (Tuuk dan Brandes, 1885 : 619-624).
Prasasti Ababi A dianugerahkan kepada karaman i Hara Babi
sedangkan prasasti Babahan II, seperti halnyan prasasti Babahan I, berkenaan
dengan dharma i ptung. Kedua prasasti itu tidak lengkap sehingga data sejarah
yang dapat diketahui sangat sedikit.
Setelah Sri Walaprabhu, yang naik takhta kerajaan Bali
adalah Paduka Sri Maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmidhara
Wijayotunggadewi. Gelar ini terbaca dalam prasasti-prasasti : Pengotan B I
(1010 Saka), dan Pengotan B II (1023 Saka). 23
Goris, dalam membahas gelar yang cukup panjang itu,
mengemukakan hal-hal berikut:
1. Indukirana =
cahaya bulan purnama
2. Guna-dharmma =
turunan dari Gunapriyadharmapatni, yakni ibu Airlangga
3. Hendak mengaku
Wijaya = turunan raja Palembang (Sri Wijaya), dan
4. Hendak mengaku
Uttungga, yakni turunan raja Sindok di Jawa Timur (1948 : 10).
Tampaknya, Goris hendak menyatakan bahwa sejumlah unsur
gelar itu secara implisit mengandung muatan politis, khususnya yang dikemukakan
dalam tiga butir terakhir. Konsep dasar jalan pikiran Goris kiranya dapat
diterima, tetapi secara operasional menghubungkan unsur wijaya dengan kerajaan
Sriwijaya di Palembang, sebagaimana dinyatakan dalam butir ketiga, sepantasnya
mendapat pertimbangan lebih cermat. Ada dua hal akan diajukan sebagai bahan
pertimbangan, yang serta merta menunjukkan kekurangkuatan hipotesis Goris itu.
Pertama, sampai kini belum terdapat bukti jelas mengenai
hubungan politik kerajaan Bali Kuno dengan Sriwijaya di Sumatra. Kedua, seperti
telah diketahui, unsur Sriwijaya digunakan pula dalam gelar Ratu Sri Wijaya
Mahadewi. Stein Callenfels, yang menghubungkan ratu ini dengan kerajaan
Sriwijaya, telah dibantah oleh Damais. Dengan alasan yang tepat, Damais
mengidentifikasikan bahwa ratu ini adalah putri dari Jawa Timur (1952 : 85-86).
Sejalan dengan pendapat Damais itu, dengan mengesampingkan pendapatnya yang
menjurus kepada penyamaan dengan putri Sindok serta ditunjang isi butir kedua
dan keempat kutipan di depan, maka Sakalendukirana pun tidak perlu dihubungkan
dengan kerajaan Sriwijaya tetapi dengan keluarga besar dinasti Isana di Jawa
Timur.
Salah satu kebijakan Ratu Sakalendukirana ialah memberikan
prasasti kepada pejabat Nayakanjalan. Prasasti itu diharapkan dapat digunakan
sebagai pedoman pelaksanaan tugas dan kewajiban oleh penduduk di bawah
kewenangan pejabat tersebut. Sejumlah rincian ketetapan tercantum di dalam
prasasti itu, misalnya mengenai drwyahaji untuk samgat surih, upacara yang
dilaksanakan pada waktu bulan mati (pjah lek), dan iuran untuk keperluan
upacara besar (mahabanten).
Ratu Sakalendukirana diganti oleh Paduka Sri Maharaja Sri
Suradhipa. Baginda berkuasa tahun 1037 : 1041 Saka (1115-1119) dengan
mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Saka), Angsari B
(1041 Saka), Ababi, Tengkulak D dan Prasasti Tamblingan, Pura Endek III.24
Sebagian di antara prasasti-prasasti itu sudah aus dan tidak terbaca lagi.
Berdasarkan permohonan wakil-wakil pamong dharma (sejenis
bangunan suci) di Air Tabar dapat diketahui bahwa raja memberikan izin kepada
mereka memperbaharui (umanari) prasastinya. Izin itu diberikan karena prasasti
semula yang tertulis pada daun rontal (ripta) telah rusak dan tidak terbaca
lagi (awuk munggwing ripta tan wnang winaca). Selanjutnya, raja menekankan
supaya isi prasasti itu dipatuhi oleh segenap penduduk sebagaimana mestinya.
Semua hal itu disebutkan dalam prasasti Gobleg, Pura Desa
III. Pada tahun 1041 Saka, sesuai dengan isi pokok prasasti Angsari B, raja
Suradhipa memberikan prasasti kepada dharma di Sukhamerta yang termasuk wilayah
desa Latengan. Segala ketetapan yang tercantum di dalamnya supaya ditaati oleh
penyelenggara pertapaan di kompleks dharma di Sukhamerta. Pertapaan ini
dibangun pada masa pemerintahan Raja Tabanendra Warmadewa.
Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara
beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam
gelarnya, yaitu (1) Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun 1055-1072 Saka
(1133-1150), (2) Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155), (3)
Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181), dan (4)
Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri
Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun
1122 Saka (1200). Birokrasi pemerintahan keempat raja inilah yang akan dibahas
dalam karya tulis ini. Berdasarkan hal itu maka uraian mengenai aktivitas atau
kebijakan yang dilaksanakan oleh raja-raja tersebut tidak diperpanjang pada
bagian ini.
Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui
secara pasti. Walaupun demikian, berdasarkan kelaziman dalam sistem pergantian
kepala negara suatu kerajaan tradisional serta digunakannya unsur jaya dalam
gelar masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubungan antara raja yang satu
dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan anaknya. Kalau tidak demikian,
paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan kekeluargaan yang sangat dekat.
Perlu diperhatikan bahwa masa pemerintahan keempat raja itu
hampir sezaman dengan masa pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1057 -1079 Saka),
Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau Gandra
(1103 Saka), Kameswara (1104-1107 Saka), dan Kertajaya atau Srengga (1116-1127
Saka) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur (cf. Damais, 1952 : 66-71 ; Sumadio
dkk., 1990 : 267-272, 306). Hal yang menarik perhatian pula, sebagaimana telah
dikatakan, ialah adanya unsur jaya digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno
dan paling sedikit pada dua nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur
yang sama itu rupanya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga
menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya
hubungan kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam kitab
Bharatayuddha. Dalam kitab itu dikatakan bahwa raja Jayabhaya sempat meluaskan
kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup
mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya (Krom, 1956 :154-155 ; Warna dkk.,
1990 : 2-3).
Sejak berakhirnya kekuasaan Ekajayalancana sampai dengan
akhir masa Bali Kuno, masih terjadi lima kali pergantian raja. Secara
berturut-turut dinobatkan Sri Wirama (1126 Saka), Adidewalancana (1182 Saka),
Sri Mahaguru (1246-1247 Saka), Walajayakrrttaningrat (1250 Saka), dan Sri
Astasura Ratnabhumibanten (1259-1265 Saka).
Sri Wirama, lengkapnya Bhatara Parameswara Sri Wirama
tercantum dalam prasasti Bangli, Pura Kehen C (1126 Saka) (Stein Callenfels,
1926 : 56-59). Dalam prasasti itu disebutkan tiga tokoh historis sebagai
berikut:
1. Bhatara Guru
Sri Adikuntitekata, yakni permaisuri raja yang telah almarhum. Goris juga
menyebut tokoh ini dengan Bhatara Guru I (1965 : 43).
2. Bhatara
Parameswara Sri Wirama, yang juga disebut Sri Bhanadhirajalancana, putra (wija)
Sri Adikuntiketana.
3. Bhatara Sri
Dhanadewiketu, yaitu permaisuri (rajawanita) Sri Dhanadhirajalancana.
Berdasarkan keterangan dalam butir ketiga, khususnya kata
rajawanita, yang digunakan untuk menyebut istri Sri Wirama, maka berarti raja
yang sesungguhnya adalah Bhatara Parameswara Sri Wirama. Kendati demikian, yang
bertitah langsung kepada penduduk adalah Sri Adikuntiketana (Stein Callenfels,
1926 : 56). Titah tu disampaikan kepada wakil-wakil desa Bangli (karaman i
bangli) sewilayah desanya, agar mereka tidak mengungsi lagi ke desa lain.
Sebaliknya, mereka diperintahkan supaya kembali ke desanya serta
menyelenggarakan asrama (mandala) Lokasarana yang sempat sepi dan tidak
terurus.
Dalam prasasti itu dicantumkan pula aturan tentang hak dan
kewajiban yang harus dipatuhi oleh penduduk Bangli. Antara Raja Sri Wirama
(1126 Saka) dan raja berikutnya, yaitu Bhatara Parameswara Hyang ning Hyang
Adidewalancana (1182 Saka) terdapat masa kosong (power vacuum) selama tidak
kurang dari 56 tahun. Belum terdapat petunjuk yang jelas mengapa hal itu
terjadi.
Tidak banyak dapat dikemukakan mengenai raja Adidewalancana.
Baginda mengeluarkan sebuah prasasti, yaitu prasastiBulihan B (1182 Saka), yang
dianugrahkan kepada wakil-wakil desa Bulihan (karaman i bulihan) (Goris, 1954a
: 41-42).
Selain itu beliau juga mengeluarkan prasasti Pangsan yang
dianugrahkan kepada pariman i nungnung. Setelah masa pemerintahan raja
Adidewalancana, terdapat lagi masa tanpa raja selama lebih kurang 64 tahun,
yakni tahun 1182-1246 Saka (1260-1324). Pada periode itu terbit hanya dua buah
prasasti, yaitu prasasti Pengotan E (1218 Saka) dan Sukawana D (1222 Saka),
atas nama Kbo Parud (putra Ken Demung Sasabungalan). Tokoh itu berkedudukan
sebagai rajapatih, bukan sebagai raja (Goris, 1948 : 11 ; 1954a : 42).
Keadaan ini kemungkinan besar ada kaitannya dengan
keterangan yang dapat disimak 32 dari isi pupuh 42 bait 1 kitab Nagarakrtagama.
Di sana dikatakan bahwa pada tahun 1206 Saka (1284) Raja Krtanagara (dari
Singhasari) berhasil menaklukkan Bali serta menawan raja-raja Bali (Pigeaud,
1960a : 32 ; 1960b : 48 ; Slametmulyana, 1979, 294). Dalam sumber itu tidak
disebutkan nama atau gelar raja Bali yang ditawan. Dengan alasan yang kurang
jelas, Ginarsa menduga bahwa raja itu adalah Adidewalancana (1968 : 27). Dugaan
itu akan menjadi benar apabila raja itu memerintah paling sedikit selama 24
tahun setelah menerbitkan prasastinya yang berangka tahun 1182 Saka (1260).
Kedudukan Kbo Parud sebagai rajapatih boleh jadi berlangsug
sampai setelah Krtanagara dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kadiri, bahkan
mungkin sampai pada masa-masa awal kerajaan Majapahit. Kedudukannya itu
tampaknya baru berakhir setelah Bhatara Guru II (Bhatara Sri Mahaguru)
dinobatkan sebagai raja di Bali pada tahun 1256 Saka (1324), atau beberapa
tahun sebelum penobatan itu. Hal ini sekaligus menyatakan bahwa Bali selama itu
berada di bawah pengawasan kerajaan yang tengah berkuasa di Jawa Timur.
Identifikasi Raja Bhatara Guru II atau Bhatara Sri Mahaguru
sesungguhnya masih mengandung permasalahan. Ada tiga buah prasasti dikeluarkan
oleh raja itu, tetapi memuat gelarnya secara tidak konsisten. Dalam prasasti
Srokadan (1246 Saka)25 baginda disebut Paduka Bhatara Guru yang memerintah
bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji (baca : Haji) Sri
Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Saka) disebut dengan gelar Paduka
Bhatara Sri Mahaguru (Stein Callenfels, 1926 : 50). Dan dalam prasasti Tumbu
(1247 Saka) disebut Paduka Sri Maharaja, Sri Bhatara Mahaguru, Dharmmotungga
Warmadewa (baca : Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga
Warmadewa) (Goris, 1965 : 45). Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun
1250 Saka (1328).
Dugaan itu dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka,
sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug (Stein Callenfels, 1926 : 68-70),
yang memerintah di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat. Raja ini
memerintah bersama-sama dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka
Tara Sri Mahaguru. Mengingat kata tara (baca : tara) dapat berarti ”janda atau
duda”, di samping juga berarti ”suami atau istri” (Damais, 1959 : 690), maka
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Paduka Tara Sri Mahaguru
kemungkinan besar adalah janda almarhum Bhatara Guru II.
Selain itu, kiranya dapat disepakati bahwa kata tarunajaya
pada hakikatnya bermakna sama dengan walajaya. Kendatipun demikian, masih
diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan tokoh Tarunajaya dalam prasasti
Srokadan dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selumbung. Kehati-hatian itu
diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk sang suami (yaitu Bhatara
Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan sebagai putra sang permaisuri (yaitu
paduka Tara Sri Mahaguru). Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika
Bhatara Guru II dan Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan
pasangan suami-istri.
Atas dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat
dapat dikatakan bahwa bagaimanapun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua
belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Sumber-sumber sejarah yang muncul
pada masa-masa mendatang diharapkan dapat menerangkan hal itu.
Dari prasasti Selumbung yang telah disebutkan, dapat
diketahui bahwa Raja Walajayakrtaningrat beserta ibunya memberikan anugrah
prasasti kepada tetua desa Salumbung (karaman ing salumbung). Dalam prasasti
itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh penduduk bagi
bangunan suci Sang Hyang Candri ring Linggabhawana. Penganugerahan prasasti itu
disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.
Raja Walajayakrttaningrat dan ibunya digantikan oleh Paduka
Bhatara Sri Astasura Ratnabumibanten (baca : Paduka Bhatara Sri Astasura
Ratnabhumibanten). Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka
tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99). Prasasti ini mencatat
bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan pelbagai drwyahaji yang mesti
dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran. Batas-batas wilayah
pertapaan dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang menyaksikan penganugerahan
prasasti itu disebutkan pula di dalamnya. Pada bagian akhir prasasti terdapat
sumpah kutukan (sapatha) yang pada intinya mengharapkan agar orang-orang yang
melanggar ketetapan dalam prasasti itu mendapat mala petaka setimpal.
Dapat ditambahkan bahwa di Pura Tegeh Koripan (di puncak
Gunung Penulisan) tersimpan sebuah arca yang bagian belakang arca itu terdapat
prasasti yang terdiri atas sembilan baris tulisan dan keadaannya telah sangat
aus. Pada baris ke delapan terdapat bagian yang berbunyi ”…t (asu)
raratnabumi…” (Stutterheim, 1929 : 79). Belakangan, Damais membaca bagian itu
sebagai berbunyi ”(–)—stasura ratnabumi banta,…”(1955 : 129) dan Goris membaca
astasura-ratna bumi-banten (1954a : 44). Di atas prasasti terdapat candra
sangkala berupa empat gambar, yakni paling depan tidak jelas karena sudah
pecah, berikutnya gambar mata (dengan nilai 2), puluhannya parasu (kapak) yang
bernilai 5, dan terakhir tidak terang, mungkin gunung (bernilai 7) atau laut
(bernilai 4). Berdasarkan data itu, maka angka tahun prasasti tersebut mungkin
1254 atau 1257 Saka (Stutterheim, 1929 : 79). Di pihak lain, menurut
perhitungan yang diterapkannya, Damais berpendapat bahwa prasasti itu berangka
tahun 1352 Saka (1439) (1955 : 129-130). Jika arca tempat prasasti itu berangka
tahun 1352 Saka (1430) (1955 : 129-130). Jika arca tempat prasasti itu ditulis
adalah arca perwujudan Astasura Ratnabhumibanten, yang dibuat sekitar upacara
sraddha-nya, maka pendapat Damais lebih beralasan.
Enam tahun setelah Astasura Ratnabhumibanten mengeluarkan
prasasti Langgahan (1259 Saka), yakni pada tahun 1265 Saka (1343) ekspedisi
tentara Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada menyerang Bali. Penyerangan itu
berhasil menaklukkan Bali. Goris menyatakan bahwa dengan takluknya Bali kepada
Majapahit maka berakhirlah kerajaan Bali Kuno yang merdeka (1965 : 47).
Kontak perang antara Bali dan Majapahit agaknya didahului
dengan suasana tidak harmonis. Betapa tidak senangnya pihak Majapahit terhadap
raja Bali dapat diketahui dari hasil goresan pena Mpu Prapanca dalam kitab
Nagarakrtagama. Pupuh 49 bait 4 kitab itu menggambarkan sebagai berikut:
”muwah rin sakabdesu masaksi nabhbhi, Ikan bali nathanya
dussila niccha Dinon in bala bhrasta sakweh nasa Ars salwir i dusta mandoh
wisathta,” (Pigeaud, 1960a : 36).
Artinya:”Selanjutnya pada tahun Saka panah-musim-mata-pusat
(1265 Saka), kepada raja Bali yang rendah budi dan hina dina dikirimlah tentara
untuk membasmi, hancurlah semuanya, ketakutan semua penjahat (lalu) lari
menjauh (cf. Slametmulyana, 1979 : 297 ; Pigeaud, 1960c : 54).
.
.
.
.
.
.
.
.
sumber :aryakeladian.blogspot.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar