Sebagai orang bali,mimin sering merasa bingung dengan keadaan bali yang sekarang. di saat sedang gembar-gembornya pemerintah menggelorakan ajeg bali, hal ini juga membuat kalangan pekerja bingung dengan digalakannya sikap profesionalisme di lingkungan kerja.
karena kegalauan mimin yang sudah melebihi kegalauan cabe-cabean yang diputus gebetannya inilah akhirnya membuat mimin ngubek-ubek mbah google soal masalah ini, dan akhirnya ketemu artikel ini yang ditulis oleh Dewa Made Cakrabuana Aristokra di situsnya http://www.kulkulbali.co/. enjoy this open minded article... ^_^
Matt Frederickson lagi pusing.
Di tengah lesunya persaingan bisnis ekspor kerajinan kayu, pegawai andalannya, Made Lara, mendadak mengajukan libur. "Ada odalan pura di kampung, Mister," kata Made. "Really? Itu kan baru minggu lalu?" tanya sang bos penasaran. "Ooh kemarin itu… itu sih lain, Mister. Itu odalan di merajan gede!"
Ada lagi cerita Surya ambara a.k.a. mimin sendiri. Bartender di sebuah hotel berbintang di Legian ini sedang pusing juga. Di kampungnya ada upacara potong gigi alias metatah dalam bahasa bali saudaranya. Ingin rasanya hadir, tapi sungkan untuk 'ijin' ke management yang bukan orang Bali. “Kalau tidak ikut, ndak enak sama keluarga di kampung. Salah-salah bisa diomongin,” keluh Surya.
Lain lagi cerita Mbak Siwi, pegawai perusahaan sibuk di Renon. Di hari-hari ramai pelanggan berdatangan, kawan-kawannya yang Hindu malah dapat libur khusus. Fakultatif istilahnya. "Aduh, berat juga jadi pendatang. Aku jadi kerja sendirian di hari-hari begini..." keluhnya. Tapi ngedumelcukup dalam hati. Kalau dikeluarkan, bisa-bisa Mbak Siwi dicap SARA. Berat!
Salahkah Matt dan Mbak Siwi bertanya-tanya dalam hati?” Lalu bagaimana dengan Made dan Nengah yang selain terikat pekerjaan juga terbelit kewajiban adat?
Profesional ndak sih, orang Bali itu?
***
Jamak keluhan-keluhan semacam prolog di atas dialamatkan pada pekerja Bali. Bahkan Bali punya singkatan unik bagi dunia kerja: BAnyak LIbur, alias BA-LI.
Kawan-kawan, Bali sedang mengalami cultural lag. Bali sedang kaget secara budaya.
Jaman dahulu Bali adalah pulau kecil yang orang-orangnya dihidupi alam. Masyarakatnya agraris. Hujan cukup, tanahnya subur khas kepulauan vulkanik nusantara, sungainya pun dialiri air sepanjang tahun. Saking suburnya Koes Plus sampai bernyanyi,
...bukan lautan, hanya kolam susu, kail dan pancing cukup menghidupimu..., bahkan tonggak kayu dan batu jadi tanaman!
Leluhur-leluhur seantero nusantara itu tidak kelaparan.
Sejak matahari belum terbit, mereka berangkat ke sawah. Macul! Mereka menumbuhkan padi dengan cara sederhana. Siangnya mereka membuka bekal makan yang isinya berdikari. Berasnya sisa panen musim kemarin yang disimpan di lumbung. Lauknya kepiting tangkapan sang anak di sungai, istrinya memetik daun kelor dari halaman belakang untuk sayur.
Sehabis kenyang, sang suami lanjut menggarap sawah sampai matahari tenggelam, lalu ia pulang.
Nah! Setelah pulang, kira-kira kakek moyang kita melakukan apa?
Sederhana: mereka bermasyarakat! Dalam komunitas yang sudah tak lagi memikirkan perut lapar, muncullah benih peradaban. Mereka mulai merasa butuh kesenian. Bayangkan saja, mana ada masyarakat kelaparan yang kepikiran memotong bambu atau mengikir tembaga untuk sekedar dijadikan alat musik, yang dirangkai jadi satu set jegog atau gamelan? Diberi ukiran rumit pula! Itu baru satu contoh sederhana.
Perut bukan lagi masalah. Peradaban pun lahir.
Setelah seni, mereka juga butuh spiritual. Masyarakat kala itu begitu berterimakasih pada alam, bahkan mempersonifikasi alam sebagai ibu. Ibu Pertiwi alias Mother Nature, sang ibu yang selalu memberi hidup pada anaknya. Kemurahan Sang Pencipta saat panen diibaratkan sebagai ibu nan cantik jelita: Dewi Sri.
Kini sang anak ingin berterima kasih.
Meski tahu ibunya tak membutuhkan hal duniawi macam tanda terima kasih, memberi bingkisan kecil untuk Ibunda selalu menyenangkan, bukan? Kesenian tadi berpadu dengan kehidupan ala agraris, melahirkan upacara-upacara. Mereka merayakan dengan menyajikan hasil panen terbaik, dengan pakaian yang baik pula, dipadu musik dan tari yang indah, sebagai tanda syukur.
Bukankah seluruh dunia juga mengenal parade? Spanyol punya parade saat panen tomat dengan suka cita juga, kan? Hari dimana kita bersyukur dan berbagi keceriaan atas kemurahan Sang Pencipta Alam, Bali mengenalnya sebagai hari-hari suci.
Atas dasar itulah Bali menjadi unik. Unik karena kulturnya. Memang banyak wilayah lain yang punya pantai lebih indah dengan karang lebih wah, namun bayangkan betapa kagumnya para pelancong asing awal 1900-an yang datang ke Bali. Mereka mendapati pulau berisi candi peribadatan berjejeran, dari pinggir pantai Tanah Lot, sampai puncak gunung. Ukirannya rumit nan indah. Belum lagi saat piodalan, dimana suara gamelan berpadu dengan meriahnya umbul-umbul.
Terima kasih pada kultur agraris yang memberi waktu luang dan membebaskan leluhur-leluhur Bali (serta nusantara) dari perut keroncongan. Berkat itu pendahulu kita mampu mencipta dan menjalankan budaya yang membuat Bali kaya. Menggiurkan bagi pelancong, sekaligus menggiurkan bagi pengusaha dan penanam modal. Semua berkat budaya agraris.
Lalu bagaimana dengan masyarakat Bali sekarang, masih layak kah menyandang label agraris?
Kita sendiri tahu apa jawabannya. Aku tahu. Anda pun tahu. Bahkan petani sendiri bila ditanya, "Pak, mau ndak nanti anaknya kayak bapak, jadi petani juga?"
Tidak...
Begitulah jawabannya. Mereka ingin anaknya jadi pegawai. Petani ingin anaknya jadi pengusaha. Jadi dokter. Selamat datang di Bali yang sedang meninggalkan era agraris menuju masyarakat industrialis. Budaya industrialis membawa ciri khas profesionalisme waktu. Di mata profesional, kegiatan orang Bali yang penuh hiasan, bahkan sampai ngayah berhari-hari bisa dengan gampang dilabeli inefisiensi, tidak efektif dan efisien. Tidak profesional, bahkan dicap pemborosan.
Tapi masalahnya kita masih menjalankan warisan budaya agraris, ditengah kenyataan yang semakin industrialis, bukan?
Jangan pandang tulisan ini sebagai pandangan kaum anti tradisi. Memang diluar sana banyak kaum-kaum yang merasa butuh 'pembaruan', ingin agar budaya tradisional yang memberatkan itu dihapuskan. "Memberatkan, ndak profesional!" keluh mereka. Bahkan ada yang lebih ekstrim, "Kita salah, Bali terlalu ruwet! Di India pusatnya Hindu saja tidak seperti ini."
Hah?
India pusatnya Hindu? Agama punya pusat? Entahlah, menurut saya sih tidak. Tapi tentu topik ini kita bahas nanti. Another story for another day.
Masyarakat Bali yang semata menyalahkan budaya warisan ibarat maskapai penerbangan menyalahkan mahalnya biaya perawatan pesawat. Lha, kalo ndak ada pesawat, memang maskapai selama ini cari makan pakai apa? Kalau budaya agraris dulu ndak ada, memang Bali akan bisa seperti sekarang?
* * *
Bila kemudian muncul keluhan tentang profesionalisme orang Bali dilihat dari jam kerjanya, pertanyaan itu sebenarnya bisa dibalik. Bisakah para penanam modal mendapat hasil yang manis dari Bali seandainya Bali tak punya keunikan budaya? Bisakah negara mendapatkan pendapatan pajak yang besar dari Bali bila ia tak punya daya magnit yang bernama budaya?
Upacara itu adalah bagian integral dari budaya. Bersama-sama dengan tarian, ukiran, musik, sampai lawar-nya. Pemangku kepentingan di Bali musti paham itu, bahwa beban budaya yang dipikul masyarakat Bali (terutama lewat upacara-upacaranya) adalah trade-off, kekurangan di satu sisi yang membawa kelebihan di banyak sisi lain.
Sekarang memang sedang seru-serunya tarik menarik pandangan. Ada yang menarik ke arah tuntutan 'atas nama profesionalisme'. Ada yang menarik ke arah 'demi daya saing tingkat global'. Ada pula nurani yang menarik ke arah 'kesadaran untuk menjaga warisan leluhur'.
Tarik-tarikan ini tidak mudah sampai bertemu titik keseimbangannya. Tapi kelak nanti pasti akan sampai. Angin-anginnya sudah mulai terasa. Sampai nanti Matt, si direktur hotel Kuta dan Mbak Siwi bisa tersenyum sambil bergumam, “memang inilah yang membuat pulau indah ini manis. Dan berkat itu pula banyak semut-semut berdatangan untuk bersama-sama menikmati manisnya. Saya salah satunya.”
Tak lupa si Made dan Surya juga tersenyum, “Kewajiban saya lah pada leluhur untuk beribadah, menjaga adat dan budaya Bali tetap hidup. Swadharma dalam bekerja juga tidak boleh ditelantarkan, demi daya saing orang Bali di tengah dunia yang makin global ini. Apalagi CAFTA, China-ASEAN Free Trade Area sudah di depan mata! Karena bekerja kan ibadah juga.”
Semoga si Made dan Surya adalah pekerja lokal bercita rasa global dengan kepribadian nusantara. Mungkin mereka ngeh dengan kawan-kawan pekerja di Jepang dan China sana yang tak mau asal adopsi budaya barat dan meninggalkan budaya Ibunya. Jepang dan China membuktikan, dimana jiwa profesional dibarengi dengan budaya nasional menyala-nyala dalam dada, justru hasilnya akan makin luarbiasa.
Maju terus kualitas pekerja, dengan kepribadian nusantara!
Semoga bermanfaat.
sumber:
Tidak ada komentar :
Posting Komentar